SMA Muhammadiyah

SMA Muhammadiyah
Sekolah

Minggu, 11 Maret 2012

Demo Guru Honorer 2012 (liputan Sahabat)


SUDAH beberapa tahun Neng Sri (bukan nama sebenarnya) mengajar di salah satu sekolah dasar negeri di perbatasan Jakarta dengan Bekasi. Ia baru teringat statusnya masih guru honorer, pada saat rekan-rekannya berunjuk rasa di depan Istana Presiden, Senin (20/2) lalu.
Soalnya, selama ini ia hanya tulus mengajar dan pasrah menunggu proses pengangkatan dari instansi atasannya, yang dianggapnya sudah punya struktur organisasi pemerintahan yang baik.
Namun, setelah menyaksikan unjuk rasa tersebut, Neng Sri baru sadar betapa malangnya nasib ratusan ribu guru-guru honorer di negeri ini. Sudah bertahun-tahun mereka mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, tetapi tidak dihargai dengan imbalan yang pantas, dan luput dari perhatian negara.
Padahal, pemerintah sudah membentuk satu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ditambah lagi satu Kantor Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) yang ditugaskan untuk mengurusi masalah-masalah kepegawaian. Kedua instansi inilah yang mesti dituding, tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik selama ini.
Ribuan guru honorer melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/2) pekan lalu, menuntut pengesahan rancangan peraturan pemerintah tentang pengangkatan guru honorer menjadi calon pegawai negeri sipil.
Mereka mengaku datang dari Jakarta, Purwakarta, Bandung, Subang, Cilegon, Palembang, Medan, Makassar, dan sejumlah daerah lainnya. Selama ini, sekitar 600.000 guru honorer di seluruh Indonesia, hanya menerima pembayaran honor antara Rp100.000 sampai Rp 300.000 per bulan, padahal sudah di atas lima tahun mereka bekerja.. Yang jelas, imbalan ini sangat tidak manusiawi, karena amat jauh di bawah upah minimum daerah.
Belum lama ini Pemerintah mengumumkan, bahwa tahun 2011 lalu jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 7,7 juta orang, menurun dari tahun 2007 yang tercatat 10,1 juta orang pengangguran terbuka.
Namun, 600.000 guru-guru honorer ini mestinya termasuk penggangguran (terselubung), apabila dilihat dari penghasilannya hanya antara Rp 100.000 – Rp300.000 per bulan yang tidak mungkin bisa hidup dengan uang sebesar itu, apalagi sudah berkeluarga.
Harus Ribut Dulu
Sangat disayangkan, nasib malang guru honorer ini barulah diperhatikan oleh pemerintah, setelah harus ribut-ribut dulu. Hal serupa juga harus dilakukan oleh para perangkat desa dari seluruh Indonesia, baru-baru ini.
Mereka sampai bermalam di depan istana dan kementerian dalam negeri untuk memperjuangkan nasibnya. Sehingga, pemerintahlah yang sebenarnya mengajari rakyatnya harus ribut-ribut dulu menuntut haknya, agar diperhatikan.
Hal ini terbukti dari tanggapan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo di Jakarta, hari Selasa (21/2) yang menyatakan akan mengangkat guru-guru dan pegawai tata usaha honorer menjadi calon pegawai negri sipil (CPNS), setelah dilakukan seleksi.
Mengapa baru sekarang ditanggapi, padahal guru-guru dan tata usaha honorer ini sudah bekerja puluhan tahun dan bahkan lebih.Pernyataan ini pun baru merupakan janji-janji yang belum pasti bisa segera dilaksanakan, karena menurut Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang dituntut pengunjuk rasa ratusan guru honorer itu, baru akan diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Keuangan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden. Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS, baru bisa diproses, setelah RPP itu ditandatangani Presiden.
Anehnya lagi, menurut Abubakar, tenaga honorer yang akan diproses menjadi CPNS adalah tenaga honorer yang diangkat sampai tahun 2005. Berarti tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 masih terus terkatung-katung. Ini pun masih dibagi dalam dua kategori.
Kategori pertama yang diproses menjadi CPNS, adalah tenaga honorer golongan I yang diangkat sampai tahun 2005, yakni pegawai di instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mendapatkan gaji/honor dari APBN/APBD. Jumlahnya, menurut Eko Prasojo, hanya 72.000 orang.
Sedangkan kategori kedua, adalah tenaga honorer golongan II yang diangkat sampai tahun 2005 dan mendapat gaji/honor bukan dari APBN/APBD, misalnya guru yang mendapat honor dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang jumlahnya, menurut Eko sebanyak 650.000 orang. Pengangkatan menjadi CPNS pun, hanya 30 persennya. Berarti, bagian terbesar guru-guru honorer itu masih tetap bernasib malang. Padahal, banyak anggaran yang dikorupsi di Badan Anggaran DPR. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar