SUDAH beberapa tahun Neng Sri
(bukan nama sebenarnya) mengajar di salah satu sekolah dasar negeri di
perbatasan Jakarta dengan Bekasi. Ia baru teringat statusnya masih guru
honorer, pada saat rekan-rekannya berunjuk rasa di depan Istana Presiden, Senin
(20/2) lalu.
Soalnya, selama ini ia hanya tulus mengajar dan
pasrah menunggu proses pengangkatan dari instansi atasannya, yang dianggapnya
sudah punya struktur organisasi pemerintahan yang baik.
Namun, setelah menyaksikan unjuk rasa tersebut,
Neng Sri baru sadar betapa malangnya nasib ratusan ribu guru-guru honorer di
negeri ini. Sudah bertahun-tahun mereka mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan
anak-anak bangsa, tetapi tidak dihargai dengan imbalan yang pantas, dan luput dari
perhatian negara.
Padahal, pemerintah sudah membentuk satu
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ditambah
lagi satu Kantor Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) yang ditugaskan
untuk mengurusi masalah-masalah kepegawaian. Kedua instansi inilah yang mesti
dituding, tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik selama ini.
Ribuan guru honorer melakukan aksi unjuk rasa di
depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/2) pekan lalu, menuntut pengesahan
rancangan peraturan pemerintah tentang pengangkatan guru honorer menjadi calon
pegawai negeri sipil.
Mereka mengaku datang dari Jakarta, Purwakarta,
Bandung, Subang, Cilegon, Palembang, Medan, Makassar, dan sejumlah daerah
lainnya. Selama ini, sekitar 600.000 guru honorer di seluruh Indonesia, hanya
menerima pembayaran honor antara Rp100.000 sampai Rp 300.000 per bulan, padahal
sudah di atas lima tahun mereka bekerja.. Yang jelas, imbalan ini sangat tidak
manusiawi, karena amat jauh di bawah upah minimum daerah.
Belum lama ini Pemerintah mengumumkan, bahwa
tahun 2011 lalu jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 7,7 juta
orang, menurun dari tahun 2007 yang tercatat 10,1 juta orang pengangguran
terbuka.
Namun, 600.000 guru-guru honorer ini mestinya
termasuk penggangguran (terselubung), apabila dilihat dari penghasilannya hanya
antara Rp 100.000 – Rp300.000 per bulan yang tidak mungkin bisa hidup dengan
uang sebesar itu, apalagi sudah berkeluarga.
Harus Ribut Dulu
Sangat disayangkan, nasib malang guru honorer ini
barulah diperhatikan oleh pemerintah, setelah harus ribut-ribut dulu. Hal
serupa juga harus dilakukan oleh para perangkat desa dari seluruh Indonesia,
baru-baru ini.
Mereka sampai bermalam di depan istana dan
kementerian dalam negeri untuk memperjuangkan nasibnya. Sehingga, pemerintahlah
yang sebenarnya mengajari rakyatnya harus ribut-ribut dulu menuntut haknya,
agar diperhatikan.
Hal ini terbukti dari tanggapan Wakil Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo di
Jakarta, hari Selasa (21/2) yang menyatakan akan mengangkat guru-guru dan
pegawai tata usaha honorer menjadi calon pegawai negri sipil (CPNS), setelah
dilakukan seleksi.
Mengapa baru sekarang ditanggapi, padahal
guru-guru dan tata usaha honorer ini sudah bekerja puluhan tahun dan bahkan
lebih.Pernyataan ini pun baru merupakan janji-janji yang belum pasti bisa
segera dilaksanakan, karena menurut Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Azwar
Abubakar, rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang dituntut pengunjuk rasa
ratusan guru honorer itu, baru akan diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara
dan Menteri Keuangan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden.
Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS, baru bisa diproses, setelah RPP itu
ditandatangani Presiden.
Anehnya lagi, menurut Abubakar, tenaga honorer
yang akan diproses menjadi CPNS adalah tenaga honorer yang diangkat sampai
tahun 2005. Berarti tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 masih terus
terkatung-katung. Ini pun masih dibagi dalam dua kategori.
Kategori pertama yang diproses menjadi CPNS,
adalah tenaga honorer golongan I yang diangkat sampai tahun 2005, yakni pegawai
di instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mendapatkan gaji/honor
dari APBN/APBD. Jumlahnya, menurut Eko Prasojo, hanya 72.000 orang.
Sedangkan kategori kedua, adalah tenaga honorer
golongan II yang diangkat sampai tahun 2005 dan mendapat gaji/honor bukan dari
APBN/APBD, misalnya guru yang mendapat honor dari dana bantuan operasional
sekolah (BOS) yang jumlahnya, menurut Eko sebanyak 650.000 orang. Pengangkatan
menjadi CPNS pun, hanya 30 persennya. Berarti, bagian terbesar guru-guru
honorer itu masih tetap bernasib malang. Padahal, banyak anggaran yang
dikorupsi di Badan Anggaran DPR. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar