SMA Muhammadiyah

SMA Muhammadiyah
Sekolah

Kamis, 18 November 2010

Kegigihan Seorang Guru

Oleh : Joko Wahyono

Saya teringat seorang sahabat yang bernama Katubi, Dia adalah guru bahasa Indonesia tingkat SMP. Kami sama-sama mengabdi pada sebuah sekolah di pelosok Kalimantan Timur. Katubi adalah guru yang saya kenal sangat gigih dan memiliki keinginan  yang sangat kuat untuk maju. Dia menggunakan waktunya sangat efektif. Katubi hanya mengabdi 2 tahun di sekolah tersebut namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, beliau berhasil membawa beberapa anak didiknya berprestasi hingga tingkat nasional. Cara guru ini agak berbeda dengan kebanyakan guru lainnya. Pada umumnya guru melihat anak anak yang memiliki prestasi akademis dan mendapat nilai rapor bagus selalu menjadi ‘langganan’ untuk di kirim berbagai aneka lomba. Cara ini ada yang berhasil, namun sering kali tidak berhasilnya.

Katubi adalah guru yang begitu dekat dengan murid-muridnya. Ia banyak bercerita tentang indahnya keberagaman suku, agama, ras, adat istiadat yang dimiliki bangsa ini. Namun, tidak menutup mata telah terjadi disharmoni yang mengatas namakan agama dan negara. Anak-anak diminta berbicara soal SARA, mereka diminta menulis apa saja yang mereka ketahui dan alami tentang perihal tersebut. Guru tersebut betul-betul mengetahui anak-anak yang hanya tahu lewat cerita buku atau anak-anak yang mengalami dan melihat langsung kekerasan yang terjadi di daerahnya. Anak-anak diajarkan cara mengungkapkan pokok pokok pikiran dan teknik menulis yang benar, namun anak-anak yang memiliki pengalaman langsung terhadap subjek tersebut mendapat bimbingan intensif.

Ketika sebuah organisasi Masyarakat Anti SARA Indonesia mengadakan lomba mengarang Nasional untuk anak, yang bertema “Anak-Anak Berbicara tentang SARA”. Naskah anak-anak yang dibimbingnya dikirim. Ternyata naskah tersebut mendapatkan hasil yang Luar Biasa, 2 anak bimbing Katubi berhasil menjadi 10 besar, juara nasional dan dapat unggul menyaingi 570 naskah yang masuk. Ada hal yang luar biasa dan menjadi istimewa, karena salah satu anak yang dibimbing oleh guru Katubi adalah anak yang sama sekali tidak dilirik guru lainnya, anak tersebut tidak terlihat kelebihannya, tidak punya latar belakang prestasi akademis yang bagus. Anak tersebut datang dari daerah yang punya latar belakang kekerasan di wilayah timur Indonesia, Katubi dengan sabar mengajarkan anak itu mulai dari dasar, membimbing membaca dan menulis yang memang jauh dari teman sebayanya, membesarkan hati anak tersebut dan memberikan  banyak latihan membaca dengan bahan bacaan yang diarahkan, tentu saja hal ini dimaksudkan agar anak lebih meningkatkan kepercayaan dirinya. namun, dengan kegigihan sang guru mengasahnya, anak tersebut dapat bersinar dan menjadi kebanggaan daerahnya. Tulisan anak tersebut menjadi inspirasi banyak orang dan banyak diulas berita surat kabar nasional.

Katubi adalah contoh dari sebuah kegigihan seorang guru. Dia tidak mudah mengikuti arus, dia tidak mau menjadi orang yang biasa-biasa saja (rata-rata), dan dia melakukan sesuatu yang orang lain yakin tidak sanggup melakukannya. Dengan kegigihan dan kecerdasan yang dimilikinya, Katubi selalu mendapat penghargaan di bidang tulis menulis dan sampai akhirnya Pemerintah pusat memberi kesempatan beliau untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. 13 tahun telah berlalu, Kami telah kehilangan kontak, sekarang, dimanakah dirimu berada, Katubi?

Ujian Nasional: Polemik Yang Terus Berulang

Afrianto Daud Menulis
Polemik tentang Ujian Nasional kembali mengemuka dalam wacana pendidikan nasional menyusul keputusan Mahkamah Agung tertanggal 14 September 2009 bernomor register 2596 K/PDT/2008 yang menolak permohonan kasasi yang diajukan para tergugat (dalam hal ini presiden, wakil presiden, mendiknas dan ketua BSNP) sebagai kelanjutan proses hukum terhadap gugatan citizen law suit yang diajukan oleh sekelompok pendidik, orangtua, aktivis LSM, dan beberapa siswa yang menjadi korban Ujian Nasional pada tahun 2006 silam.
Keputusan MA ini telah menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pengadilan menyatakan bahwa pemerintah telah lalai memenuhi kewajiban dan hak warga negara yang menjadi korban UN, khususnya hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pengadilan mewajibkan tergugat untuk mengingkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan para sarana, dan akses informasi yang lengkap dan merata di seluruh Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan UN.
Keputusan ini tentu disambut gembira oleh kelompok penggugat dan mereka yang selama ini mengkritisi Ujian Nasional. Forum Air Mata Guru di Medan sebagai forum yang dulu pernah melaporkan adanya kecurangan sistematis dalam pelaksanaan UN di Medan, misalnya, sangat terharu dan segera melakukan syukuran setelah mengetahui keputusan ini (Kompas,30/11/2009). Bagi mereka, keputusan itu semakin mendekatkan jalan bahwa penghentian (baca:penghapusan) UN yang selama ini digunakan pemerintah sebagai salah satu penentu kelulusan siswa dari jenjang pendidikan menengah tinggal menunggu waktu.
Walaupun diingatkan banyak pihak agar pemerintah mematuhi keputusan MA ini dengan meniadakan UN tahun 2010 sebelum persyaratan sebagaimana dimaksud keputusan MA terpenuhi, pemerintah ternyata tidak bisa menerima keputusan MA ini dan kemudian melakukan upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali . Pada saat yang sama pemerintah melalui Mendiknas, Prof. Dr. Muhammad Nuh, menegaskan bahwa keputusan MA itu tidak akan menghentikan rencana pemerintah untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional pada tahun 2010. Alasannya terdengar sederhana, karena paket rencana UN tahuan 2010 telah berlangsung dan telah dianggarkan dalam APBN (Kompas, 25/11/2009).
Keputusan pemerintah untuk tetap jalan dengan rencana UN jelas akan kembali mempertajam polemik seputar UN. Polemik ini diperkirakan akan terus bergulir sampai anak bangsa ini menemukan satu formulasi kebijakan UN yang relatif diterima semua pihak. Bahkan kelompok penggugat dalam satu diskusi yang dilaksanakan LBH Jakarta berencana akan menginternasionalisasikan masalah UN dengan mengadukannya ke bagian pelaporan khusus PBB untuk hak pendidikan (Kompas, 1/12/2009).
Mengapa Polemik Terjadi?
Polemik UN yang sekarang kembali mengemuka tidaklah terjadi begitu saja. Dia bukan muncul dari respon sesaat yang tanpa dasar dari mereka yang mempertanyakan UN ini. Tentu ada alasan kuat di balik semua polemik ini. Karenanya himbauan Mendiknas untuk menghentikan polemik sekitar UN sangat tida relevan jika akar penyebab polemik tidak ditiadakan (Riau Pos, 15/12/2009).
Walaupun keputusan MA tidak menyebutkan pelarangan UN, namun ruh keputusan itu jelas mengingatkan semua pihak yang cinta dengan pendidikan negeri ini bahwa memang ada suatu yang salah dengan pelaksanaan UN selama ini. Bahwa ada satu kondisi yang memerlukan kita untuk kembali merenung dan merefleksi tentang baik buruknya UN ini.
Mencermati polemik UN yang sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun ajaran 2003/2004, pada dasarnya banyak pihak sepakat bahwa ujian berstandar nasional seperti UN ini diperlukan untuk mengukur pencapaian keberhasilan pembelajaran di tingkat sekolah sekaligus untuk mendapatkan peta kualitas pendidikan negeri ini.
Namun poin penting yang menjadi sumber keberatan banyak pihak adalah ketika UN dijadikan pemerintah sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari jenjang pendidikan menengah, sebagaimana tertmaktub dalam Permendiknas Nomor 75/2009 tentang Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB/- SMA/MA/SMALB. Lebih lagi ketika pemerintah mematok syarat nilai minimal yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (tahun ini rata-rata minimal untuk lulus adalah 5,50 dengan enam mata ujian), maka keberatan banyak pihak semakin kuat.
Banyak orang yang mengkhawatirkan karena sangat beragamnya kualitas, fasilitas, dan perlakuan yang diperoleh ratusan ribu sekolah di negeri beribu pulau ini, maka angka itu tergolong berat untuk mayoritas siswa yang berada di daerah. Kemudian kelompok siswa seperti ini berpotensi menjadi korban berikutnya dari kebijakan UN (yang belum tentu bijak) ini. Mereka bisa kehilangan masa depan mereka, karena gagal memenuhi syarat kelulusan minimal.
Studi kualitatif yang dilakukan Afrianto (2007) mengungkapkan bahwa UN telah membawa banyak dampak negatif kepada pengajaran, kepada kurikulum, guru, siswa, dan pihak administrasi sekolah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah sekarang mempraktekkan apa yang disebut dengan teaching to the test, dimana suasana belajar di sekolah sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang sering kita temukan di dalam bimbingan belajar yang lebih memfokuskan anak-anak mereka membahas soal-soal UN, terutama pada siswa kelas XII, atau kelas IX. Dengan demikian idealisme pengajaran yang humanis dan berusaha mengembangkan tiga ranah pendidikan (koginitif, afektif, dan psikomotor) secara seimbang dalam suasana belajar yang kreatif, inovatif, dan dinamis akan menjadi terpinggirkan.
UN juga telah membuat para guru, administrator sekolah, siswa, dan orangtua merasa tertekan dan dipenuhi rasa khawatir jika nanti anak-anak mereka tidak lulus Ujian Nasional. Disamping karena malu dengan masyarakat, sekolah juga tidak siap jika dievaluasi oleh jajaran di atasnya, karena cendrung ada semacam pemahaman tak tertulis di kalangan pejabat (dan juga masyarakat) bahwa angka kelulusan UN yang tinggi adalah indikasi dari keberhasilan sekolah dalam mendidik anak-anak mereka.
Kemungkinan besar, suasana perasaan seperti inilah yang memicu sebagian siswa dan juga guru mencari jalan pintas agar anak-anak mereka lulus UN. Maka terjadilah kasus kecurangan yang tidak hanya melibatkan siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah yang selalu kita dengar setiap tahun pelaksanaan UN. Tahun kemaren misalnya, ada 16 kepala sekolah tertangkap basah oleh polisi karena berusaha membuka sampul soal dan berniat membocrkan soal ujian saat pembagian soal UN di kantor Diknas Pendidikan Bengkulu Selatan. Kisah kecurangan seperti ini terus menjadi cerita sedih dunia pendidikan kita sebelum, ketika, dan setelah UN berlangsung.
Mencari Jalan Tengah
Untuk jangka pendek, sepertinya diperlukan jalan tengah yang bisa memediasi dua kepentingan yang selama ini cendrung bersebrangan. Kepentingan pemerintah yang bersikukuh dengan pelaksanaan UN sebagaimana konsep dan format yang selama ini telah berlangsung, dan kelompok pengguggat yang mewakili mereka yang menginginkan penghentian UN, karena pemerintah dianggap belum bisa memenuhi kondisi yang diprasyaratkan keputusan pengadilan.
Saya memahami bahwa tidaklah mudah bagi pemerintah untuk serta merta menghentikan pelaksanaan UN pasca keluarnya keputusan itu, karena pemerintah melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) telah membuat aturan-aturan yang cukup matang tentang UN. Saat ini pemerintah tengah melakukan sosialisasi di beberapa daerah terkait perombakan tata aturan UN. Bahkan, dalam jangka panjang pemerintah justru berencana akan menghapus ujian semisal SNM-PTN dan benar-benar akan menggunakan nilai UN ini sebagai pertimbangan seorang calon mahasiswa diterima atau tidak di bangku perguruan tinggi (Kompas, 7/11/2009).
Saya berpendapat bahwa pada dasarnya UN diperlukan sebagai salah satu alat evaluasi pendidikan nasional kita. Adalah benar bahwa pemerintah memerlukan alat untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dalam bidang mata pelajara tertentu. UN juga diperlukan agar pemerintah memperoleh peta tentang keadaan objektif kualitas pendidikan nasional, yang kemudian berdasarkan peta ini pemerintah bisa menyusun dan melaksanaan program pembinaan kepada daerah dan atau sekolah yang dianggap masih tertinggal secara kualitas dari daerah dan atau sekolah lain. Pada akhirnya, dengan cara ini, secara berangsur pemerintah bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan gap kualitas yang selama ini terjadi dengan pendidikan kita.
Menurut saya, kalau pemerintah ingin memaksakan pelaksanaan UN pada tahun ini dan pada tahun mendatang, jalan tengahnya adalah pemerintah mesti berani melakukan pembatalan salah satu poin yang menjadi perdebatan selama ini. Pemerintah sangat disarankan untuk tidak menggunakan UN sebagai salah satu penentu (baca: yang paling menentukan) kelulusan siswa pada jenjang pendidikan menengah. Kembalikanlah hak untuk menentukan kelulusan siswa itu kepada pihak sekolah (baca: guru) yang pasti tahu persis bagaimana keadaan objektif prestasi dan rekam jejek seorang siswa selama tiga tahun pembelajaran di sekolah. Sehingga tidak ada lagi kisah seorang siswa yang memiliki track record sebagai siswa yang baik, santun, relatif pintar, tetapi kemudian harus kehilangan masa depannya, karena nilainya kurang 0.01 pada salah satu mata pelajaran UN dan dinyatakan gagal memenuhi syarat minimal nilai kelulusan.
Kalau pemerintah masih bersikeras untuk menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa, maka sebaiknya pemerintah menghentikan pelaksanan UN ini, sampai prakondisi yang disyaratkan keputusan pengadilan benar-benar terwujud. Kalau tidak, sungguh pemerintah telah buta hati, tuli, dan secara sadar telah mengabaikan begitu banyak suara dan masukan dari berbagai pihak yang kritis terhadap UN. Tidak hanya itu, (walaupun ada upaya hukum PK) pemerintah juga telah bersikap ‘mengangkangi’ keputusan pengadilan. Ini tentu bukanlah sebuah contoh yang tidak baik dari pemerintah yang akan sulit hilang dari memori publik. Wallahu’alam.

Rabu, 17 November 2010

Sriwijaya Post - Dugaan Korupsi Tunggu BPKP

Sriwijaya Post - Dugaan Korupsi Tunggu BPKP

Pajak

Andai Hukuman Penjara bagi para pelaku pengelapan pajak. ditambah dengan kewajibannya untuk melakukan aksi sosial, berupa panggalangan dana Beasiswa bagi yang tidak mampu dan membantu lembaga-lembaga yang melakukan kegiatan bagi anak-anak yatim, pendidikan, rumah sakit dalam melayani masyarakat yang tidak mampu, tentu akan lebih bermanfaat sekaligus juga mengembalikan nama baik bagi penggelap pajak tadi.

Senin, 08 November 2010

Pelajaran Tambahan

Pelajaran tambahan adalah pelajaran yang dilaksanakan/dilakukan untuk membiasakan/melatih siswa untuk menghadapi UN agar terbiasa atau tidak gugup menghadapi/menjawab soal UN, dan dapat menjawab dengan cara yang benar, memilih jawaban yang benar dan mengisi data serta membulatkan data dan jawaban yang benar pada Lembar Jawaban Komputer (LJK).
Kapan dilaksanakan? sebaiknya sudah dan sedang dilaksanakan sekarang sampai dengan waktu dianggap siswa mampu melakukan segalanya dengan baik dan benar. agar tujuan yang diinginkan oleh siswa, orang tua, guru dan para pengambil kebijakan sekolah (stake Holder) tercapai.

Pelajaran Tambahan

Pelajaran tambahan adalah pelajaran yang ditujukan untuk melatih/membiasakan anak untuk menjawab soal UN dengan cara yang benar, jawaban yang benar dan membulatkan data dan jawaban pada LJK juga dengan benar. Tujuannya agar siswa tidak gugup stress. mampu menghadapi UN dengan tenang. dengan hasil seperti yang diharapkan si anak sendiri, orang tua, Guru dan para pengambil kebijakan di sekolah (stake holder). agar hasil nya maksimum berbagai strategi akan dilakukan.
Kapan sebaiknya dilaksanakan? jawaban yang bagus, ya sekarang telah, sedang dilaksanakan